JAKARTA – Kementerian Pertanian (Kementan) telah merumuskan arah pengembangan hortikultura dalam lima tahun ke depan, khususnya dalam hal daya saing komoditas. Komoditas hoetikultura pun menjadi bisnis pertanian yang menguntungkan.
Peningkatan nilai tambah dan daya saing merupakan aspek terpenting dari grand design pengembangan komoditas hortikultura. Produk-produk hortikultura ke depan harus lebih mampu bersaing di pasar internasional.
Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL) mengatakan, sektor hortikultura sangat menjanjikan untuk peningkatan devisa, sekaligus kesejahteraan rakyat. Menurut SYL, perlu keseriusan dan kerja sama semua pihak. Selain itu, kemandirian petani juga perlu ditingkatkan. Proses budidaya dengan industri dan pasar harus secara cermat.
“Ke depan harus ada daerah sentra-sentra komoditas yang semuanya tersentuh dengan baik dari hulu sampai hillir. Dengan cash flow dan perencanaan yang baik, semuanya akan berjalan dengan baik dan menguntungkan bagi petani,” jelas SYL.
Dalam acara Mentan Sapa Petani dan Penyuluh (MSPP) Volume 39, Jumat (22/10/2021) secara live dari Bali, Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian (BPPSDMP) Kementan, Dedi Nursyamsi menegaskan jika semua pihak harus bertansformasi dari pertanian tradisional ke pertanian modern. Katanya, salah satu ciri pertanian modern memanfaatkan produk bio sience atau varietas-varietas berpotensi tinggi untuk mendapatkan keuntungan besar. Komoditas hortikultura menurut Dedi adalah pilihan yang tepat, karena dalam waktu yang singkat dapat mengahasilkan keuntungan yang luar biasa.
“Apalagi jika memanfaatkan teknologi yang mutakhir, misalnya hidroponik atau smart green house dan itu luar biasa, karena dalam waktu singkat menghasilkan panen, sehingga menghasilkan uang yang banyak,” ujar Dedi.
Begitu juga jika kita menanam jenis florikultura. Menurutnya hal ini sangat menjanjikan, karena bisa diekspor ke luar negeri. Dari hitungannya, dalam 1 musim dengan luasan hanya 1.000 meter persegi bisa menghasilkan Rp10 miliar. “Jika dibandingkan dengan jagung hanya menghasilan Rp24 juta bahkan padi lebih rendah tidak sampai Rp20 juta. Hal ini berarti bahwa pertanian modern harus mengarah dan menghasilkan tanaman-tanaman yang lebih menguntungkan seperti hortikultura dan floritulkura,” tutur dia.
Dedi menyambut baik program-program dari Direktorat Jenderal Hortikultura, di antaranya dengan membangun kampung-kampung buah. Dedi juga mengajak para penyuluh dan petani untuk mengimplementasikan dan menyukseskan program-program dimaksud.
“Dengan mengikuti kawasan, maka skala ekonomi terpenuhi. Di saat yang sama, bisa menjamin kualitas dan kuantitas produk-produk pertanian agar mampu bersaing, sehingga dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani guna memperkuat ketahanan pangan dan ekspor, jelas Dedi.
Narasumber MSPP yang merupakan Direktur Buah dan Florikultura, Liferdi Lukman mengatakan, hortikultura adalah suatu hal yang sangat menarik. Apalagi di saat pandemi, hortikultura tak hanya menyehatkan jiwa, tapi juga menyejahterakan petani. “Imun meningkat jika kita mengkonsumsi makanan dengan vitamin tinggi yang salah satunya didapat dari hortikultura,” katanya.
Selain itu, florikultura dikenal dengan konsumsi jiwa. Karena dengan melihat beraneka ragam bunga-bunga yang indah dapat menenangkan jiwa dan sesuatu yang indah bisa menghilangkan rasa yang sakit. “Hortikultura dan florikultura di masa pandemi sebagai imunitas, baik dari sisi nutrisinya maupun dari nutrisi jiwa atau makanan batin,” jelas Liferdi.
Secara gamblang Liferdi menjelaskan jika produksi buah-buahan terus mengalami peningkatan. Dari tahun 2000 hingga tahun 2020 meningkat sebesar 6,06 persen. Pertumbuhan tertinggi ada pada komoditas manggis sebesar 19,64 persen dan durian sebesar 11,92 persen. Sementara untuk volume ekspor hortikultura 220 naik 2,7 persen dibanding 2019. Sedangkan nilai ekspor naik 37,5 persen. Nilai impor hortikultura tahun 2020 turun 8,16 persen dibanding 2019.
Jika ditotal konsumsi buah masyarakat Indonesia dari tahun 2016 hingga tahun 2020 yaitu sebanyak 36,35 kg/kapita tahun. Sedangkan anjuran konsumsi buah FAO sebesar 73 kg/ kapita/ tahun. Hal ini masih jauh dari standar FAO. “Padahal buah-buahan memiliki vitamin C yang tinggi sehingga meningkatkan imunitas, namun di masyarakat Indonesia dalam mengkonsumsi buah-buahan masih sedikit, bahkan masyarakat hanya mengkonsumsi buah di saat sakit. Mindset ini harus diubah dengan mengonsumsi buah-buahan sebelum sakit,” urai Liferdi.
Tantangan pengembangan buah dan florikultura yaitu alih fungsi lahan, karena APBN lebih diprioritaskan untuk stabilitas pasokan komoditas strategis dan pandemi Covid-19. Hal ini berdampak pada terpuruknya industri dekorasi dan daya saing produk florikultura dengan perubahan preferensi konsumen serta peningkatan ekspor.
Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut, maka Direktorat Jenderal Hortikultura mengambil beberapa kebijakan, salah satu di antaranya dengan membangun ampung-kampung buah dan florikultura (one village one variety) dan untuk memperkuat kelembagaannya akan dibangun koorporasi guna meningkatkan kesejahteraan petani. “Kampung-kampung tersebut tidak hanya sekedar memproduksi, tapi juga untuk edukasi dan destinasi wisata atau agro eduwisata. Ini bukan hanya program dari Pusat saja tapi juga ada komitmen dengan pemerintah daerah,” terangnya. (HVY/NF)