TABANAN – Konseptual kepemimpinan tersingkap dari panggung Festival Ulun Danu Beratan 2019. Menjadi rangkaian skenario Bali Recovery, pesan itu dikirim melalui fragmentari Mandala Dwipa Antara Gajah Mada. Backgroundnya kebesaran kerajaan Majapahit.
Festival Ulun Danu Beratan 2019 menebarkan vibrasi harmoninya, Kamis (24/10). Konsep kepemimpinan diterjemahkan dari figur besar Mahapatih Gajah Mada. Aktor besar dibalik kesuksesan Majapahit dalam menyatukan nusantara hingga beberapa kawasan negara ASEAN lainnya. Bupati Tabanan Ni Putu Eka Wiryastuti mengungkapkan, pesan besar dikirimkan fragmentari Mandala Dwipa Antara Gajah Mada.
“Fragmentari tersebut menjadi bentuk kepedulian terhadap tanah air. Ini bentuk kecintaan kami kepada Indonesia. Kami juga menghormati para leluhur, khususnya dari Majapahit. Sebab, Majapahit itu pernah mensejahterakan nusantara dan mancanegara dalam konsep penyatuan. Konsep persatuan itu kini harus dipertahankan melalui bentuk NKRI,” ungkap Eka Wiryastuti, Kamis (24/10).
Digelar di DTW Ulun Danu Beratan, Baturiti, Tabanan, Bali, fragmentari ini sangat menarik. Konsepnya kolosal dengan 56 penari inti, lalu persiapan shownya sekitar 2 bulan. Alur cerita yang disampaikan di dalam fragmentari Mandala Dwipa Antara Gajah Mada sangat otentik. Menggabungkan history dan budaya sekaligus dengan aktor sentral Mahapatih Gajah Mada.
“Alur cerita yang ditampilkan sesuai dengan kondisi riil saat itu. Fragmentari ini menjadi gambaran dari proses sebuah kepemimpinan. Bagaimanapun, figur seorang pemimpin harus dilihat dari berbagai sisi. Dan, itu yang terjadi dan dimiliki figur besar Mahapatih Gajah Mada,” terang Owner Sanggar Tanjung Ubud Ida Bagus Waskita.
Diawali dengan pengantar, fragmentari Mandala Dwipa Antara Gajah Mada dilanjutkan pementasan Wayang Emas Majapahit. Secara keseluruhan, koleksi wayang peninggalan Majapahit ini ada 170 dengan bahan baku emas kuning dan putih. Pentas wayang tersebut sebagai gambaran karakter calor pemimpin dan menjadi bagian seleksi pemimpin di Majapahit.
Mengikuti seleksi, Gajah Mada waktu itu menunjuk figur Krishna atau Kresna. Figur Kresna dianggap sebagai representasi konsep Waisnawa. Konsep tersebut dalam Hindu sangat identik dengan Wisnu dan karakternya bisa ‘momong’ banyak hal. Tenaga Ahli Menparekraf Bidang Pemasaran dan Kerjasama Pariwisata I Gde Pitana mengatakan, fragmentari memberi banyak pengetahuan terkait kepemimpinan.
“Figur Gajah Mada memang sangat menginspirasi lintas generasi. Ada banyak hal yang bisa diteladani dari figurnya. Kekuatannya secara keseluruhan mampu menyatukan berbagai suku bangsa saat itu dan semuanya hidup damai berdampingan. Meski berbeda, semuanya tetap satu,” kata Pitana.
Mengisyaratkan konsep kepemimpinan, fragmentari Mandala Dwipa Antara Gajah Mada mengenalkan Astabrata. Ada 8 konsep karakter yang harus dimiliki seorang pemimpin, seperti Indra Brata. Konsep ini mengharuskan pemimpin memberi kesejahteraan bagi rakyatnya. Ada juga Yama Brata yang mengacu konsep penegakan keadilan menurut hukum. Muaranya terciptanya ketertiban dalam masyarakat.
Karakter pemimpin yang ke-3 adalah Surya Brata. Seorang pemimpin harus menumbuhkan spirit dan memberi kekuatan. Ada juga konsep Candra Brata yang berarti bisa memberi inspirasi dan teladan bagi publik. Konsep berikutnya Vayu Brata yang merujuk pemimpin harus sering turun ke bawah. Lalu, ada juga Bhumi Brata yang menjadi sifat utama. Sebut saja, teguh dan berpijak pada landasan regulasi.
Menggenapi karakternya, ada juga sifat Varuna Brata. Pemimpin wajib mengatasi setiap gejolak masalah secara arif dan bijaksana. Konsep ke-8 adalah Agni Brata yang memberi kesempatan luas siapapun untuk turut serta dalam pembangunan bangsa. Asisten Deputi Bidang Pengembangan Pemasaran I Regional III Kemenparekraf Muh. Ricky Fauziyani memaparkan, Gajah Mada adalah teladan luar biasa.
“Gajah Mada menjadi teladan yang sangat menginspirasi. Sumpah Palapa-nya menjadi bukti komitmen luar biasa yang dimilikinya. Dengan kebijaksanaannya, Gajah Mada bisa menyatukan nusantara bahkan juga mancanegara. Strateginya saat itu bisa dibilang sangat maju dan melampaui batas waktu,” papar Ricky.
Ditegaskan melalui fragmentari Mandala Dwipa Antara Gajah Mada, konsep penyatuan berbagai suku bangsa dilakukan dengan ‘rasa’. Diplomasi dikuatkan melalui penetrasi budaya. Pada era modern saat ini, formulasi tersebut familiar sebagai asymmetric warfare. Perang asimetris ini memakai konsep yang tidak lazim. Spektrum perangnya sangat luas, mencakup juga aspek astagatra termasuk trigatra.
“Dengan fragmentari Mandala Dwipa Antara Gajah Mada, publik mendapat pembelajaran luar biasa. Dari situ, harapannya tentu munculnya budaya etos kerja yang terus naik. Sisi lainnya memunculkan beragam kreativitas untuk inovasi. Semua konseptual tersebut dilakukan secara tuntas oleh Majapahit hingga mencapai titip kemasyuran,” tegas Ricky lagi.
Selain olah rasa, fragmentari Mandala Dwipa Antara Gajah Mada juga menampilkan beragam warisan lain dari Majapahit. Selain Wayang Emas dan Topeng Gajah Mada, ada juga 8 Tombak. Konon keris yang ditampilkannya tersebut juga dipakai Gajah Mada saat melakukan Sumpah Palapa. Deputi Bidang Pengembangan Pemasaran I Kemenparekraf Rizki Handayani menjelaskan, siapapun bisa belajar dari sejarah besar Majapahit dan Gajah Mada.
“Majapahit beserta Gajah Mada menjelma besar dan masyur itu fakta. Mereka melakukan semuanya itu dengan cara tidak biasa. Ada banyak pemikiran dan filosofi besar yang melingkupinya. Karakter bangsa seperti itulah yang bisa diteladani. Publik kini telah belajar banyak dari berbagai nilai positif melalui fragmentari Mandala Dwipa Antara Gajah Mada,” tutup Rizki.(*)