JAKARTA – Dua hal yang dibutuhkan menurut Presiden Joko Widodo agar sektor pertanian terus memberikan keuntungan yaitu meningkatkan profesionalisme dan daya saing. Menurut Presiden, keuntungan terbesar justru ada pada tahap pengolahan pascapanen. Sehingga, Presiden menyarankan agar petani juga mampu masuk ke sektor hilir, bukan hanya hulu.
Arahan dan pesan Presiden Jokowi tersebut telah diimplementasikan Kementerian Pertanian melalui program Food Estate dengan konsep korporasi petani-nya yang berpotensi menciptakan ekosistem pangan menjadi lebih inklusif.
Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL) menerangkan, dalam program Food Estate segala hal yang berkaitan dengan tujuan pembangunan pertanian nasional diimplementasikan dengan baik. Menurut Mentan SYL, program Food Estate mengimplementasikan berbagai hal secara komprehensif mulai dari hulu hingga hilir.
“Program Food Estate ini memiliki beberapa ciri khas yaitu mengelola multikomoditas, menggunakan mekanisasi, korporasi, market place, berorientasi ekspor dan lain sebagainya,” tutur Mentan SYL, Selasa (24/8/2021).
Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP Kementan, Ali Jamil menjelaskan bahwa ada tiga lokasi Food Estate, yaitu Kalimantan Tengah, Sumatera Utara dan Nusa Tenggara Timur. Penetapan lokasi area Food Estate menurutnya sudah mempertimbangkan aspek-aspek teknis melalui analisa peta/data teknis masing-masing kegiatan antara lain peta kesesuaian lahan, peta lahan gambut, peta kesesuaian kajian lingkungan hidup cepat, peta tutupan lahan, peta kawasan hutan dan lain-lain.
Lebih lanjut Ali menyampaikan bahwa pelaksanaan pembangunan Food Estate melibatkan beberapa pihak. Di antaranya kementerian atau lembaga, Kemenko Perekonomian yang menyusun peta penentuan lokasi (Area of Interest) dan melakukan koordinasi pelaksanaan kegiatan antara kementerian atau lembaga, Bappenas membuat rencana induk (master plan), Kementerian PUPR menangani penyediaan infrastruktur jalan dan irigasi, Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup membuat kajian lingkungan hidup strategis dan memastikan bahwa lahan yang digunakan mempunyai status yang aman dan di luar kawasan lindung.
“Kementerian Pertanian sendiri fokus pada kegiatan budidaya pertanian dan pendampingan pelaksanaan kegiatan. Sedangkan kementerian atau lembaga lainnya, termasuk perguruan tinggi mendukung program pengembangan Food Estate sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya masing-masing,” kata Ali.
Direktur Perluasan dan Perlindungan Lahan Ditjen PSP Kementan, Erwin Noor Wibowo menjelaskan, penentuan lokasi pengembangan Food Estate sudah melalui analisa dan kajian melalui penapisan data dan peta, seperti peta kesesuaian Kajian Lingkungan Hidup Strategis, peta kesesuaian lahan pertanian, peta kawasan hutan, peta lahan prima, peta tutupan lahan, peta daerah irigasi, peta penggunaan tanah, peta vegetasi dan peta terkait lainnya.
“Pengembangan Food Estate dilakukan pada beberapa kawasan yang terbagi atas klaster yang merupakan bagian dari areal keseluruhan,” papar Erwin. Klaster, ia melanjutkan, merupakan konsentrasi geografis dari petani dan pelaku usaha agribisnis, kelembagaan pendukung dan pengusaha terkait yang bekerja dalam satu rantai produksi suatu komoditas pertanian, saling berhubungan dan membangun jejaring nilai dalam menghadapi tantangan maupun mengambil kesempatan bersama.
“Berdasarkan luasnya, konsep pengembangan klaster pada kawasan Food Estate di kawasan seluas 10.000 hektar terdiri dari beberapa klaster seluas 2.000-5.000 hektar,” kata dia.
Erwin menjelaskan, untuk desain dan teknologi yang diterapkan diarahkan melalui pengkajian dari berbagai aspek secara terpadu menjadi satu kesatuan paket teknologi pengelolaan lahan yang baik atau Best Management Practices (BMP).
Penerapan BMP pada lahan rawa mengarah pada satu tujuan, yaitu lahan produktif, bermanfaat, efisien dan aman bagi lingkungan. “Adapun BMP yang disusun dalam penyusunan desain antara lain sistem tata kelola air, ameliorasi dan pemupukan, pengolahan tanah, pemilihan varietas, pengendalian gulma, hama dan penyakit,” papar Erwin.
Menurut dia, kegiatan Survey Investigasi dan Desain (SID) secara teliti, terukur dan objektif menjadi kunci keberhasilan dalam perancangan kegiatan dan pembuatan desain pelaksanaan.
“Pengembangan sistem tata kelola air dilaksanakan dengan mengadopsi teknologi penanganan irigasi di lahan rawa pada sistem tata kelola air makro (tingkat kawasan/cluster) dan sistem tata kelola air mikro (tingkat blok tersier),” urai Erwin.(*)