Kukar – Melengkapi Tenggarong International Folk Arts Festival (TIFAF), Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara juga menggelar Kukar Expo di komplek Stadion Rondong Demang, 21-29 September 2019. Puluhan stand dan tenda didirikan, termasuk panggung hiburan di sisi sebelah kanan.
Bupati Kutai Kartanegara Edi Dansyah mengatakan, Expo Kukar 2019 diikuti seluruh SKPD, UMKM, pengusaha dan masyarakat umum. Berbagai hasil pembangunan ditampilkan, termasuk potensi daerah, hasil kerajinan dan produk seni budaya. Salah satunya gambus tingkilan yang ditampilkan Dewan Kerajinan Nasional Daerah Kutai Kartanegara.
“Tingkilan merupakan salah satu jenis kesenian musik masyarakat Kutai Kartanegara. Musik ini lahir seiring dengan masuknya Islam ke Kutai dan sedikit banyak memiliki kesamaan bunyi dengan kesenian rumpun Melayu lainnya. Tingkilan lantas menyebar melalui proses akulturasi dengan kebudayaan setempat. Membuat musik ini terbagi menjadi tiga jenis, yaitu Tingkilan Hulu Mahakam, Tengah, dan Pantai,” ujarnya, Minggu (22/9).
Kata tingkilan itu sendiri berarti menyindir lewat pantun dan musik. Makna ini masih bertahan, walaupun struktur musiknya mengalami berbagai bentuk perubahan. Tingkilan menggunakan alat musik gambus, sehingga banyak masyarakat menyebutnya gambus tingkilan.
“Terdapat dua pandangan yang berbeda mengenai darimana arti kata tingkilan berasal. Pertama dari kata tingkil yang berarti sindir dalam bahasa Kutai. Penambahan akhiran-an menjadikannya bermakna sindiran yang berisi kritik dan saran, serta disampaikan dengan nyanyian,” bebernya.
Kedua, tingkilan berasal dari bahasa Kutai, di mana terdiri dari 2 kosakata yaitu ting dan kil. Ting artinya suara sebuah senar yang dipetik, sedangkan kil adalah pekerjaan memetik senar gambus. Akhiran ‘an’ adalah simbol perbuatan orang yang memainkan atau biasa disebut ningkil (dalam arti perbuatan). Namun dalam bahasa hakikat atau filsafat Kutai Kartanegara, ting berarti cepat atau secepat kilat, sedangkan kil berarti ketangkasan atau kemampuan.
Ketua Pelaksana Calendar of Event (CoE) Kemenpar Esthy Reko Astuty menyatakan, event TIFAF sudah memasuki tahun ketujuh. Namun, sebelumnya kegiatan ini digabung dengan Pesta Adat Erau yang juga masuk dalam kalender wisata tahunan.
Menurutnya, pemisahan ini juga sesuai kesepakatan dengan Kesultanan Kutai Kartanegara. Bahwa erau dipadukan dengan kegiatan religi seperti hatam Alquran dan haul Sultan.
“Ada pembagian waktu yang berbeda dalam pelaksanaan. Untuk pesta adat erau dilaksanakan pada tanggal 8-15 September. Sedangkan TIFAF dilaksanakan tanggal 21-29 September 2019,” jelasnya, diamini Tim Pelaksana CoE Kemenpar wilayah Kalimantan, Tazbir Abdullah.
Deputi Bidang Pengembangan Pemasaran I Kemenpar Rizki Handayani mengungkapkan, Kementerian Pariwisata tetap mendukung pemisahan kegiatan tersebut. Terlebih, hal itu dilaksanakan untuk menjaga kekhidmatan tradisi keraton. Terpenting, TIFAF 2019 tetap meriah dan sukses mendatangkan wisatawan, baik nusantara maupun mancanegara.
“Tahun ini TIFAF diikuti 6 negara asing, yaitu Belanda, Thailand, Rusia, Srilanka, Rumania dan Mesir. Harusnya 7 negara, tetapi karena sesuatu hal, Timor Leste batal hadir. Tapi acara tetap berlangsung meriah,” ucapnya.
Menteri Pariwisata Arief Yahya menuturkan, atraksi budaya masih menjadi magnet terbesar untuk menarik wisatawan. Data yang ada, 60 persen wisatawan datang ke Indonesia karena budaya. Ini tentu menjadi peluang yang sangat baik bagi Kutai Kartanegara untuk mengembangkan sektor pariwisata berbalut budaya.
“Sejarah Kerajaan Kutai Kartanegara yang diyakini sebagai kerajaan tertua di Indonesia, juga bisa digali dan dipromosikan untuk wisatawan minat khusus. Yang jelas, Kukar memiliki banyak potensi yang bisa dikelola untuk pengembangan dan kemajuan sektor pariwisata,” tegasnya. (*)