JAKARTA – Sektor Pariwisata Indonesia itu ibarat bunga, sedang mekar bersemi, indah mewangi. Jumlah wisatawan mancanegara (wisman) yang dicatat oleh BPS – Badan Pusat Statistik sudah menembus angka 15,8 juta orang, dengan ASPA – Average Spending Per Arrival USD 1.220 per kunjungan. Jika dihitung devisanya, sudah menembus USD 19,29 Miliar, masuk top tiga besar nasional.
Namun, lagi-lagi serentetan ketegangan social dan peristiwa politik sepanjang 2019 ini tidak segera mereda. Justru suhunya menghangat di penghujung bulan September 2019 ini. Dari peristiwa Jayapura, Wamena, asap di Sumatera dan Kalimantan, dan demonstrasi di banyak kota, termasuk Jakarta, 23-24 September ini. “Tentu, rangkaian peristiwa itu sangat menekan sektor pariwisata,” aku Menteri Pariwisata Arief Yahya.
Ketegangan Jayapura lalu, ada 5 negara pasar utama yang langsung mengeluarkan travel advice buat warganya yang akan melakukan perjalanan ke Indonesia, yakni Australia, Prancis, New Zealand, Canada, dan Inggris. Lalu, peristiwa Wamena dan serangkaian aksi sosial politik 23-24 September 2019, sudah 3 negara yang juga mengeluarkan peringatan kepada warganya, yakni Australia, Amerika dan Inggris.
“Pariwisata adalah sektor yang sangat rentan dengan kegaduhan. Karena itu, setiap ada polemik yang berujung pada ketegangan, sudah pasti akan berpengaruh terhadap pariwisata. Karena itu, kami langsung aktifkan Crisis Center, yang sering kita sebut Manajemen Krisis Kepariwisataan,” ungkap Menpar Arief Yahya dengan mimik sedih.
Bagaimana tidak sedih? Membangun brand Wonderful Indonesia yang ramah bertutur kata, santun berperilaku, elegan berbudaya dan menjaga adat ketimuran itu membutuhkan waktu yang panjang. Meyakinkan travelers dengan cara mempromosikan keunggulan culture, lengkap dengan nature yang berkelas dunia, itu perjalanan panjang. Tetapi, dalam sekejap, dalam hitungan jam, bisa berantakan dan harus memulai dari titik nol lagi.
Teknologi digital yang menjadi andalan dalam percepatan di pariwisata, ibarat pisau bermata dua. Cepat dan efektif mempromosikan destinasi wisata Indonesia yang super keren. Tetapi ketika sedang ada “bencana”, itu juga cepat menyebar luas, viral, dan berpotensi merusak minat travelers ke tanah air. Bencana dalam Pariwisata itu ada 3 macam, bencana alam, social dan teknologi.
Apakah ini akan mempengaruhi tingkat kunjungan wisman ke Indonesia? “Jelas, baik wisman maupun wisnus sangat terganggu. Bali sudah terasa, karena media di Australia viral soal ancaman RUU KUHP, meskipun Pak Presiden Joko Widodo sudah meyakinkan dan meminta penundaan pengesahannya. RUU KUHP itu masih akan disempurnakan lagi, tetapi media di Australia sudah terlanjur menyiarkan ancaman hukuman itu,” ungkapnya.
Pemerintah Provinsi Bali pun akhir mengeluarkan pernyataan resmi 22 September 2019, yang ditandatangani oleh Wagub Tjok Oka Artha Ardhana Sukawati. Tiga point yang ditulis sebagai pernyataan sikap Pemprov Bali. Pertama, KUHP itu baru rancangan sehingga belum bisa diberlakukan. Kedua, Presiden dan DPR RI sepakat menunda pengesahan RUU KUHP itu sampai batas waktu yang tidak ditentukan.
Ketiga, wisatawan dan pelaku Pariwisata diharapkan tetap tenang dan tetap menjalankan aktivitas kepariwisataan sebagaimana biasanya. Peristiwa demi peristiwa memang menumpuk di waktu yang bersamaan, itulah yang merepotkan, terutama industri pariwisata yang menghendaki ketenangan, kedamaian, dan keamanan.
Agustus 2019, Kalhutla – kebakaran hutan dan lahan, 455 titik panas mengepung Indonesia, 151 titik dalam status “Segera Penanggulangan, karea 80-100% terbakar. Lalu 275 titik di masuk kategori waspada, 30-80% berpotensi terbakar. Dan 29 titik statusnya :Perlu Perhatian, karena sampai dengan 30% potensi terbakar.
Belum tuntas soal asap, bulan Agustus 2019 sudah terkena “pressure” lagi, karena ada ketegangan di Papua dan Papua Barat, persisnya di Manokwari (19 Agustus), Sorong (19 Agustus), Deiyai Jayapura (28 Agustus). Terakhir, 23 September 2019, terjadi lagi di Wamena yang sama-sama bersumber pada isu SARA.
Ditambah lagi, demo-demo yang bersamaan di sekitar 25 kota di tanah air. Dari Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, Semarang, Jogjakarta, Solo, Makassar, Malang, Bogor, Padang, Palembang, Bengkulu, Samarinda, Balikpapan, Lampung, Pekanbaru, Wamena, Manukwari, Tegal, Purwokerto, Banyuwangi, Pare Pare, Pamekasan, Tanjung Pinang dan lainnya. Perang hastag pun terjadi di media sosial, yang membuat kesan ada situasi yang tidak stabil di Indonesia.
“Semoga semua pihak bisa menahan diri, bersabar, dan segera menemukan solusi terbaik buat negeri ini,” harap Menteri Arief Yahya.
Ketua Umum Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Didin Junaedi bahkan memprediksikan capaian target tahun 2019 ini semakin berat. Dia juga ikut berempati, karena “tekanan” pada industri pariwisata akan semakin berat.
“Tidak bisa dipungkiri, ini akan memberi dampak negatif bagi sektor pariwisata di Indonesia. Untuk skala domestik misalnya. Masyarakat tentu akan berpikir ulang ketika akan berlibur ke daerah-daerah yang terdampak asap. Bukan hanya menimbulkan rasa tidak nyaman, situasi itu dikhawatirkan bisa mengganggu penerbangan,” ujarnya, Selasa (24/9).
Untuk wisatawan mancanegara, lanjut Didin, mereka pasti juga memantau terlebih dahulu situasi di Indonesia sebelum menjadwalkan kunjungan. Ketika dilihat situasi social politik kurang kondusif, mereka akan memantau terlebih dahulu dan menunggu semua benar-benar aman.
“Sebenarnya bukan hanya wisatawan. Kita sendiri juga khawatir situasi Indonesia saat ini juga mempengaruhi iklim investasi di tanah air. Padahal, untuk mengembangkan destinasi prioritas seperti Danau Toba, kita butuh dukungan para investor. Artinya, kalau investor mundur atau setidaknya menunggu situasi kondusif, jelas akan menghambat pembangunan destinasi tersebut,” terang Didin serius.
Jadi, lanjut dia, ada dua dampak besar dalam pariwisata, yakni tourism atau kunjungan wisatawan, dan investment. “Siapa yang berani investasi di destinasi wisata yang bergejolak?” tanya Didin. Karena itu, dia berharap agar semua persoalan itu agar segera selesai dengan baik.
Dia juga berpesan, agar para pelaku industri pariwisata tetap pintar menyikapi situasi dinamis saat ini, agar tetap survive. “Saya berharap semua orang yang berkecimpung di sektor ini tetap meningkatkan skill dan terus berjuang mengembangkan pariwisata di Indonesia. Buktikan bahwa Indonesia adalah negara yang layak dikunjungi,” ungkap Didin penuh semangat.
“Kita harus tetap berpedoman bahwa pariwisata sudah menjadi salah satu penyumbang devisa terbesar bagi Negara. Pariwisata menjadi core economy bangsa ke depan. Pariwisata bakal menjadi tulang punggung perekonomian nasional. Karena itu, penting sekali menjaga pariwisata demi kesejahteraan bersama,” tandasnya.(***)