KARANGASEM – Masyarakat Bali dikenal masih menjunjung tinggi adat dan budaya peninggalan nenek moyang. Salah satunya adalah Desa Adat Tenganan Pegringsingan, yang merupakan salah satu desa berkategori Bali Aga. Di desa ini, para pengunjung akan mendapati warisan budaya leluhur yang masih dilestarikan oleh masyarakatnya.
Dari segi penggunaan bahasa sehari-hari, terdapat keunikan yakni memakai bahasa Bali yang halus madia dan setiap logatnya diakhiri dengan “a” bila bertemu dengan tamu yang berkunjung ke desa. Dari logat dan pengucapan, bahasa yang digunakan terkesan unik dan berbeda. Ada pula bahasa khas yang digunakan sebagai panggilan untuk laki-laki dan perempuan. Untuk laki-laki memiliki panggilan “Cong”, sedangkan untuk perempuan memiliki panggilan “Nyi”.
Untuk bentuk bangunan baik untuk bangunan adat maupun tempat tinggal masyarakat, memiliki perbedaan dan keunikan yang tidak ditemui di wilayah Bali manapun. Setiap bangunan adat memiliki tempat dan fungsi yang berbeda-beda, baik untuk kegiatan adat masyarakat maupun sebagai hunian keluarga.
Bale-bale tersebut dibangun berjejer mulai dari arah selatan hingga utara. Paling selatan adalah Bale Agung, kemudian disusul Bale Kulkul di sebelah utara. Dilanjutkan Bale Jineng Petemu Kelod, Bale Petemu Kelod, Bale Gambang, Bale Banjar. Kemudian Bale Jineng Nungnungan, Bale Jineng Petemu Tengah, Bale Petemu Tengah, Bale Glebeg. Lalu Bale Jineng Petemu Kaje, Bale Petemu Kaje, Wantilan, Balai Lantang, Bale Ayung. Yang berada di paling utara adalah Bale Banjar.
Mayoritas penduduk Desa Adat Tenganan Pegringsingan bermata pencaharian sebagai petani. Namun ada juga sebagian penduduk merupakan pengrajin. Kerajinan yang dibuat oleh penduduk diantaranya ukir-ukiran, anyaman bambu, lukisan di atas daun lontar dan kain tenun.
Kain tenun yang dihasilkan oleh penduduk Desa Tenganan dikenal dengan nama Kain Gringsing. Kain tenun khas masyarakat Desa Tenganan ini sangat terkenal bahkan sudah mendunia. Teknik pengerjaannya menggunakan teknik dobel ikat, yang diketahui sebagai teknik tenun satu-satunya di Indonesia.
Setiap tahunnya di bulan Juli digelar perang pandan (tradisi mageret pandan). Tradisi ini sangat unik yakni sepasang pemuda desa saling memukul dengan menggunakan duri yang ada di daun pandan. Daun-daun pandan berduri ini dipukulkan di atas punggung mereka hingga terluka dan berdarah.
Setelah perang selesei diadakan, luka-luka yang ada segera diobati dengan obat tradisional dari bahan umbi-umbian. Tradisi ini dilakukan untuk melatih fisik dan mental warga Desa Tenganan. Ketika tradisi ini berlangsung, banyak wisatawan yang datang menyaksikan bahkan fotografer datang untuk meliput.
Desa Adat Tenganan Pegringsingan Bali merupakan salah satu contoh desa yang masih mempertahankan adat istiadat dan budaya leluhur. Bukan hanya sebagai destinasi wisata namun juga sebagai sarana edukasi bagi setiap pengunjung akan keberadaan budaya yang harus senantiasa dijaga dan dilestarikan.
Kunjungan ke desa orang Bali asli ini bagian dari program We Love Bali Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf/Baparekraf. Tujuannya untuk mengampanyekan destinasi wisata di Pulau Bali yang telah berbasis protokol CHSE (Cleanliness, Health, Safety and Environmental Sustainable).
Deputi Bidang Produk Wisata dan Penyelenggara Kegiatan (Event) Kemenparekraf/Baparekraf, Rizki Handayani menuturkan, penerapan protokol kesehatan berbasis CHSE mengadopsi perubahan perilaku dan permintaan wisatawan di masa pandemi ini. Pada era adaptasi kebiasaan baru atau New Normal, wisatawan tak hanya melihat atraksi, aksesibilitas dan amenitas dari suatu destinasi wisata saja, tetapi juga aspek keamanan dan kesehatan.
“We Love Bali. memberikan apresiasi besar kepada Pulau Dewata. Percepatan pemulihan industri harus dilakukan dan diberikan. Momen yang ideal karena berada di transisi New Normal. Program CHSE juga diterapkan di sana. CHSE tentu jadi garansi keamanan dan kesehatan wisatawan di sana,” ungkap Rizki Handayani.(*)